Banjir

Selasa, 8 Agustus 2012. Bertepatan dengan hari ulang tahun ASEAN yang ke-45, saya jadi ingat bahwa seharusnya saya menyampaikan position paper tentang mekanisme partisipasi civil society di ASEAN, yang dibuat oleh teman Filipino saya. Saya kontak dia hari Minggu, untuk tanya apa paper sudah siap, dia bilang akan mengirmkannya ke saya besok (Senin, 7 Agustus 2012).

Saya baru tahu bahwa Selasa pagi, di berbagai media online, tersurat kabar bahwa banjir sedang melanda Filipina, tepatnya di ibukota Manila, di mana hampir 80% wilayahnya tergenang hingga ketinggian air 2 meter. Ini mengingatkan saya akan banjir musiman di Jakarta. Pada saat banjir besar di Jakarta tahun 2002, saya pulang dari sekolah ke rumah dengan berjalan kaki, melintasi air kotor campuran luapan sungai+sampah+limbah sepinggang saya. Ditambah lagi, dengan para ‘ojek’ gerobak yang semena-mena melakukan harassment kepada saya dan teman-teman saya yang berbaju putih dan memakai rok pendek selutut abu-abu yang seolah mengambang saat sedang melintasi banjir. Dalam kondisi seperti itu, apa yang bisa kita perbuat?

Banjir di Manila, kalau yang saya lihat dari foto-foto yang beredar di internet, tampak sangat parah. Puluhan ribu warga melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Gereja dijadikan tempat evakuasi, sementara rumah-rumah terendam tanpa bisa diselamatkan harta-benda yang ada. Inilah potret negara berkembang dengan pemerintahan yang korup. Kalau saya sering disangka etnis Filipino ketika sedang berada di negara tetangga, kadang saya pengen nyeletuk; yah, gakpapa, orang Indonesia dan Filipina memang mirip. Kedua negara mengklaim diri sebagai negara republik, mengusung demokrasi sampai aksi massa dan demonstrasi bisa berjalan bebas sampai menimbulkan rusuh, tapi pemerintahan berlaku ‘turun-temurun’, seolah tidak rela meninggalkan tahta kepemimpinan dan masih ingin keluarga yang ambil bagian. Hampir mirip dengan pemerintahan Pak Beye sekarang. Sedikit-sedikit angkat saudara, atau sepupu, atau ipar, untuk menjabat posisi strategis. Bahkan istri dan anak pun juga direncanakan untuk mendapatkan kursi di periode kepemimpinan selanjutnya, walaupun banyak kontra di mana-mana.

Ini bukan kali pertama Filipina dilanda banjir besar. Setahun yang lalu, banjir menewaskan hampir seribu orang. Kali ini, media melansir sudah lebih dari enam puluh korban akibat bencana typhoon tiga hari yang lalu dan sebagian tewas karena terendam banjir. Tapi tampaknya pemerintah tidak belajar dari situ. Lambatnya evakuasi dan penanganan bencana juga mengingatkan saya dengan Indonesia (kecuali penanganan bencana Merapi, saya acungi dua jempol terhadap masyarakat sekitar dan bantuan dari sukarelawan yang luar biasa). Ditambah lagi, sebagai wilayah kepulauan di Pasifik, Filipina juga rentan terkena bencana seasonal typhoon yang biasanya menewaskan ratusan orang. Kalau kondisi ini sudah terjadi terus-menerus, apa pemerintah tidak bisa merencanakan disaster preparedness dan early-warning system yang lebih baik? Paling tidak, untuk mengurangi korban tewas dan mempersiapkan tempat evakuasi bagi para pengungsi yang kehilangan rumah dan harta benda, dan untuk meminimalisir chaos saat banjir melanda.

Seharusnya ya, bisa. Tapi sayang, tingkat korupsi pemerintah Filipina masih di atas Indonesia. Data Corruption Perception Index (CPI) 2011 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Filipina berada di urutan 129 dari 182 negara, dan di tingkat ASEAN hanya lebih baik sedikit daripada Laos, Kamboja dan Myanmar. Untuk negara republik yang masyarakatnya English-literate seperti Filipina, dan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih tinggi daripada Indonesia, hal ini adalah sebuah ironi.

Let’s pray for the Philippines. Semoga keadaan cepat membaik dan semoga pemerintah bisa lebih baik lagi mengatur negaranya.

Floods in Manila 2012

Floods in Jakarta 2007